Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy 
1. Riwayat Hidup
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy (ulama)  dilahirkan pada tanggal 10 Maret 1904 di Lhokseumawe, Aceh Utara,  Indonesia. Ayahnya bernama Al Hajj Teungku Qadhi Chik Maharaja  Mangkubumi Husein ibn Muhammad Mas‘ud, seorang ulama terkenal yang  memiliki sebuah dayah (pesantren). Ibunya bernama Teungku Amrah, puteri  Teungku Abdul Aziz pemangku jabatan Qadhi Chik Maharaja Mangkubumi  Kesultanan Aceh waktu itu. Menurut silsilah, Hasbi ash-Shiddieqy  merupakan keturunan Abu Bakar ash-Ashiddieqy (khalifah pertama),  generasi ke-37. Oleh karena itu, sebagai keturunan Abu Bakar  ash-Shiddieqy, ia kemudian melekatkan gelar ash-Shiddieqy di belakang  namanya. Ketika ia berusia 6 tahun, ibunya, Teungku Amrah, meningggal  dunia. Kemudian, ia diasuh oleh bibinya yang bernama Teungku Syamsiah. 
Ketika  masih kecil, Teungku Hasbi ash-Shiddieqy mulai belajar agama Islam di  dayah (pesantren) milik ayahnya. Pada usia 8 tahun, ia mengunjungi  berbagai dayah dari satu kota ke kota lain yang berada dibekas pusat  kerajaan Pasai selama 20 tahun. Dalam pengembaraan tersebut, ia pernah  belajar bahasa Arab pada Syekh Muhammad ibn Salim al-Kalali, seorang  ulama dari Arab. Setelah itu, tahun 1926, ia merantau ke Surabaya untuk  melanjutkan pendidikan di Madrasah al-Irsyad, sebuah organisasi  keagamaan yang didirikan Syekh Ahmad Soorkati (1874-1943), seorang ulama  dari Sudan yang terkenal memiliki pemikiran modern waktu itu. Di  madrasah tersebut, ia menempuh pendidikan selama dua tahun dengan  mengambil pelajaran takhassus (spesialisasi) dalam bidang pendidikan dan  bahasa. Hasbi ash-Shiddieqy juga pernah mendalami ilmu agama Islam di  Timur Tengah. Selain melalui jalur pendidikan formal, Hasbi  ash-Shiddieqy juga mendalami berbagai disiplin ilmu agama melalui  belajar secara autodidak. 
Setelah menempuh pendidikan di Surabaya,  Teungku Hasbi ash-Shiddieqy kembali ke Aceh sekitar tahun 1928, kemudian  ia bergabung dalam beberapa kegiatan organisasi, di antaranya menjadi  anggota organisasi Muhammadiyah dan partai Majelis Syuro Muslimin  Indonesia (Masyumi). Setelah itu, pada tahun 1951, Hasbi ash-Shiddieqy  merantau ke Yogyakarta dan kemudian menetap untuk berkonsentrasi pada  bidang pendidikan. Tahun 1960, ia diangkat sebagai Guru Besar dalam  bidang ilmu Hadis dan Dekan di Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga  Yogyakarta (sekarang Universitas Islam Negeri/UIN) hingga tahun 1972.  Selain itu, ia juga pernah diundang sebagai pemakalah dalam  International Islamic Colloquium yang diselenggarakan di Lahore,  Pakistan tahun 1958. 
Semasa hidupnya, Hasbi ash-Shiddieqy juga aktif  menulis di berbagai disiplin ilmu, khususnya ilmu-ilmu keislaman,  seperti fiqh, hadis, tafsir dan tauhid (ilmu kalam). Menurut catatan  para kolektor karya Hasbi ash-Shiddieqy, karya tulis yang telah  dihasilkannya berjumlah 73 judul. Sebagian besar karyanya adalah  buku-buku fiqh yang berjumlah 36 judul. Sementara bidang-bidang lainnya,  seperti hadis berjumlah 8 judul, tafsir 6 judul, dan tauhid 5 judul,  selebihnya adalah tema-tema yang bersifat umum. Sebelum menghembuskan  nafas terakhir, ia masih sempat menyelesaikan naskah terakhirnya yang  berjudul Pedoman Haji. 
Teungku Hasbi ash-Shiddieqy meninggal dunia  pada tanggal 9 Desember 1975 di Jakarta, dalam usia 71 tahun. Jenazahnya  dimakamkan di Pemakaman Keluarga IAIN Ciputat Jakarta. Pada upacara  pelepasan jenazah, turut memberikan sambutan Buya Hamka (almarhum), dan  pada saat pemakaman, dilepas oleh Mr. Moh. Rum (almarhum). 
2. Pemikiran
Sebagai  ulama kontemporer, Teungku Hasbi ash-Shiddieqy memiliki pandangan  tersendiri mengenai syariat Islam. Ia berpandangan, syariat Islam  memiliki sifat dinamis dan elastis, sesuai dengan perkembangan zaman dan  konteks sosial budaya yang ada. Ruang lingkupnya mencakup segala aspek  kehidupan manusia, baik hubungan sesama manusia maupun dengan Tuhan.  Kemudian, syariat Islam yang bersumber dari wahyu Allah SWT. tersebut,  dikaji dan dipahami umat Islam melalui metode ijtihad untuk menyesuaikan  perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Hasil ijtihad ini kemudian  melahirkan banyak kitab fiqh. Penulis kitab-kitab fiqh tersebut dikenal  sebagai imam-imam mujtahid, pendiri mazhab yang empat, yaitu Abu  Hanifah, Malik, asya-Syafii dan Ahmad Hanbal. 
Akan tetapi, menurut  Hasbi ash-Shiddieqy, banyak di kalangan umat Islam, khususnya di  Indonesia, belum bisa membedakan antara syariat Islam yang langsung dari  Allah SWT., dan hukum-hukum fiqh hasil ijtihad para imam mazhab. Selama  ini, sebagian umat Islam cenderung menganggap fiqh sebagai syariat yang  absolut (pasti). Akibatnya, kitab-kitab fiqh imam mazhab tersebut  dijadikan sebagai salah satu sumber syariat yang pokok dalam kehidupan  sehari-hari. Padahal pendapat imam mazhab tersebut, masih perlu diteliti  dan dikaji ulang dengan konteks kekinian, sebab hasil ijtihad mereka  tentu tidak terlepas dari situasi dan kondisi sosio-kultural serta  lingkungan geografis mereka pada waktu itu.  
Dalam konteks  keindonesiaan, Hasbi ash-Shiddieqy melihat bahwa fiqh yang dianut  masyarakat Islam Indonesia banyak yang tidak sesuai dengan kepribadian  bangsa Indonesia. Kebanyakan dari mereka cenderung memaksakan  pemberlakuan fiqh imam-imam mazhab tersebut. Untuk itu, sebagai  alternarif terhadap sikap tersebut, ia mengajukan gagasan perumusan  kembali fiqh Islam yang sesuai dengan kepribadian masyarakat Indonesia.  Menurutnya, umat Islam harus mampu menciptakan hukum fiqh yang sesuai  dengan latar belakang sosio-kultural masyarakat Indonesia, tanpa harus  meninggalkan hasil ijtihad ulama masa lalu. Justru, hasil ijtihad  tersebut harus diteliti, dikaji dan dipelajari secara bebas, kritis dan  terlepas dari sikap fanatik. Dengan demikian, ijtihad imam mazhab  manapun, jika sesuai dan relevan dengan situasi masyarakat Indonesia,  tentu dapat diterima dan diterapkan. 
Untuk mewujudkan usaha ini,  maka para ulama dituntut mengembangkan dan menggalakkan ijtihad. Oleh  karena itu, Hasbi ash-Shiddieqy menolak pandangan, pintu ijtihad sudah  tertutup, karena ijtihad merupakan suatu kebutuhan yang terus berlanjut  sampai akhir zaman. Menurutnya, untuk mewujudkan fiqh Islam yang  berwawasan keindonesiaan, ada tiga bentuk ijtihad yang perlu dilakukan.  Pertama, ijtihad dengan mengklasifikasikan hukum-hukum produk imam  mazhab masa lalu, sehingga dapat dipilih pendapat mereka yang masih  cocok untuk diterapkan di masyarakat kita sekarang ini. Kedua, ijtihad  dengan mengklasifikasikan hukum-hukum yang semata-mata didasarkan pada  adat kebiasaan dan suasana masyarakat di mana hukum itu berkembang.  Menurutnya, hukum ini bisa berubah sesuai dengan perubahan zaman dan  perkembangan masyarakat. Ketiga, ijtihad dengan mencari hukum-hukum yang  berkaitan dengan masalah-masalah kontemporer yang timbul akibat dari  kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti transplantasi organ  tubuh, bank, asuransi, air susu ibu, dan inseminasi buatan.  
Kompleksnya  permasalahan yang terjadi sebagai dampak kemajuan peradaban,  menyebabkan pendekatan yang harus dilakukan untuk mengatasinya tidak  bisa pada bidang tertentu saja. Permasalahan ekonomi, umpamanya, tentu  akan berdampak pada aspek-aspek lain. Oleh karena itu, menurut Hasbi  ash-Shiddieqy, ijtihad tidak dapat terlaksana dengan efektif jika  dilakukan secara individual, maka ia kemudian menawarkan gagasan ijtihad  jama‘i (ijtihad kolektif). Para anggotanya tidak hanya dari kalangan  ulama, tetapi juga dari berbagai kalangan ilmuwan muslim lainnya,  seperti ekonom, dokter, budayawan, dan politikus yang mempunyai visi dan  wawasan yang tajam terhadap permasalahan umat Islam. Melalui ijtihad  kolektif ini, diharapkan umat Islam Indonesia dapat merumuskan sendiri  fiqh yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Rumusan fiqh  tersebut tidak harus terikat pada salah satu mazhab, tetapi penggabungan  beberapa pendapat yang sesuai dengan keadaan masyarakat. Menurutnya,  hukum yang baik adalah yang mempertimbangkan dan memperhatikan kondisi  sosial, ekonomi, budaya, adat-istiadat, dan kecenderungan masyarakat  yang bersangkutan. Hasbi ash-Shiddieqy bahkan menegaskan bahwa dalam  sejarahnya, banyak kitab fiqh yang ditulis ulama yang mengacu pada  adat-istiadat (‘urf) suatu daerah. Sebagai contoh, pendapat Imam  asy-Syafii yang berubah seiring dengan perpindahannya dari Irak ke  Mesir. Ketika masih di Irak, ia memiliki beberapa pendapat yang sesuai  dengan kondisi sosio-kultural Irak saat itu, yang kemudian dikenal  dengan sebutan qaul qadim (pendapat lama). Ketika ia pindah ke Mesir  dengan kondisi sosio-kultural yang baru, ia mengubah beberapa  pendapatnya yang pernah ia pegang selama di Irak, sehingga muncul  pendapat baru, yang kemudian disebut dengan qaul jadid (pendapat baru).  Dengan demikian, ijtihad harus terus dikembangkan, tidak boleh ditutup. 
3. Karya-karya
Sebagai ulama besar, Teungku Hasbi ash-Shiddieqy telah melahirkan banyak karya, di antaranya:
1. Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 1. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
2. Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 2. Bandung: Almaarif.
3. Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 3. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
4. Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 4. Bandung: Almaarif.
5. Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 5. Yayasan Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy.
6. Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 6. Yayasan Teunkgu Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy.
7. Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 7. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
8. Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 8. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
9. Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 9. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
10. Mutiara Hadis 1 (Keimanan). Semarang: Pustaka Rizki Putra. 
11. Mutiara Hadis 2 (Thaharah & Shalat). Semarang: Pustaka Rizki Putra.
12. Mutiara Hadis 3 (Shalat). Semarang: Pustaka Rizki Putra.
13. Mutiara Hadis 4 (Jenazah, Zakat, Puasa, Iktikaf & Haji). Semarang: Pustaka Rizki Putra.
14.  Mutiara Hadis 5 (Nikah & Hukum Keluarga, Perbudakan, Jual Beli,  Nazar & Sumpah, Pidana & Peradilan, Jihad). Semarang: Pustaka  Rizki Putra.
15. Sejarah dan Pengantar Ilmu Alquran dan Tafsir Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy.  Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000.
16.  Islam dan HAM (Hak Asasi Manusia): Dokumenter Politik Pokok-pokok  Pikiran Partai Islam dalam Sidang Konsituante 4 Februari 1958. Semarang:  Pustaka Rizki Putra, 1999.
17. Sejarah Pengantar Ilmu Hadis.  Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
18. Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir. Jakarta: Bulan Bintang, 1965. 
19. Kriteria Antara Sunnah dan Bid‘ah. Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
20. Tafsir Alquran al-Madjied-An-Nur. Jakarta: Bulan Bintang, 1965.
21. Pedoman Haji, (Cetakan ke-9, Edisi ke-2). Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2005.
22. Dll. 
2. Penghargaan
Atas jasa-jasanya terhadap dunia pendidikan, Teungku Hasbi ash-Shiddieqy telah dianugerahi beberapa penghargaan, di antaranya:
1. Anugerah Doctor Honoris Causa dari Universitas Islam Bandung (UNISBA) pada tahun 1975.
2. Anugerah Doctor Honoris Causa dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 1975.
 Read more